Playing Victim dalam Dinamika Popularitas Organisasi: Analisis Kritis
Oleh M. Hafidz Fitratullah
Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, peran mata-mata tidak dapat dipandang sebelah mata dalam strategi melawan penjajah. Dalam kerangka intelijen, santri dan tokoh pesantren bahkan turut membentuk jaringan “Telik Sandi” yang tersebar dari Cirebon hingga Surabaya. Mereka bertindak sebagai pengintai, kurir rahasia, dan penyebar informasi strategis untuk mendukung perlawanan merebut kemerdekaan. Di samping itu, tokoh seperti Tomegoro Yoshizumi, seorang mata-mata Jepang yang kemudian membelot ke pihak perjuangan Indonesia, juga memainkan peran penting sebagaimana diceritakan dalam buku Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi
Dalam konteks kekinian, persepsi terhadap mata-mata telah mengalami pergeseran signifikan, dari yang semula berfokus pada aspek manfaat menjadi lebih condong pada konotasi negative. Contohnya dalam organisasi, organisasi di dalam setiap kelompok itu penting karena sebagai koordinasi dan pengatur kebijakan di dalamnya. Namun tidak setiap di dalam organisasi itu satu visi, pasti memiliki banyak perbedaan pandangan dan pendapat, hal ini dikarenakan ada banyak orang dengan latar belakang, kondisi sosial yang berbeda sehingga membentuk banyak perbedaan pendapat. Selain perbedaan pendapat, bahkan mirisnya Pembina sebuah organisasi bukan fokus memperbaiki dan mengurus organisasinya sendiri namun sibuk dengan mengurusi dan mencari celah organisasi lain yang bahkan itu jauh dari jobdesknya.
Seorang Pembina seharusnya fokus meningkatkan dan mengurus bagaimana organisasinya berjalan dengan baik sekaligus sesuai dengan SOPnya, namun di beberapa kesempatan, ia malah fokus menjelek-jelekkan organisasi lain dan bahkan lalai terhadap kewajibannya sebagai Pembina organisasi. Hal ini, bagi beberapa orang terlihat dan terdengar aneh jika seorang pembina organisasi lebih mengurusi organisasi orang lain dalam tanda kutip nyinyir dan tidak berbobot.
Dalam Psikologi, perilaku tersebut dikenal sebagai Playing Victim, yaitu strategi manipulative di mana seseorang cenderung menggambarkan dirinya sebagai korban untuk mendapatkan perhatian, simpati, atau keuntungan tertentu. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku tersebut meliputi rendahnya harga diri, masalah kesehatan mental, defisit dalam keterampilan penyelesaian masalah, kesulitan dalam menjalin hubungan interpersonal, serta sikap yang berlebihan dalam menunjukkan identitas sebagai Gen Z (Stephen Karpman, 2004).
Sedangkan Islam menyebut Tajassus, perilaku ini dapat merusak hubungan antar sesama dan menimbulkan fitnah, sehingga sangat tidak dianjurkan dalam agama Islam.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah melarang seorang Muslim untuk berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan orang lain, membongkar apa yang tersembunyi dari orang lain dan menggunjingnya. Ayat ini tertuju kepada umat Islam, baik secara berkelompok ataupun personal.
Ayo hindari playing victim, jangan terus-menerus menempatkan diri sebagai korban. Menghindari playing victim mencerminkan kematangan dalam menyikapi tantangan hidup secara rasional dan konstruktif. Dengan demikian, menjauhi sikap playing victim bukan hanya menunjukkan kekuatan mental, tetapi juga membuka jalan menuju kehidupan yang lebih sehat, produktif, dan penuh makna. Wallahu a’lam bis showab!
Comments (0)
Leave A Comment