M. Hafidz Fitratullah
“Banyak orang tidak bisa membedakan maqom untuk berbicara dan maqom untuk mendengarkan. Banyak persoalan-persoalan yang harusnya dicukupkan pada level para ahli, ramai dibahas oleh level awam”
Kutipan diatas saya ambil dari pidato Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shabuni seorang mufassir yang berasal dari Suriah, dan merupakan salah seorang Guru Besar Ilmu Tafsir di Umm al Qura, pada saat peresmian masjid di kampus Pasca Sarjana UIN Malang. Di era digital saat ini, ketika berdiskusi, kita hanya fokus terhadap jawaban ataupun gagasan yang dimiliki, akhirnya hanya menjadi perdebatan tanpa solusi. Kita lebih sibuk menunjukkan kekuatan (kepandaian, kekuasaan, kemarahan, dan lain sebagainya) meskipun keilmuan, wawasan dan data yang dimiliki belum tentu teruji. Dan terkadang, kita melupakan tujuan dari diskusi tersebut, pada akhirnya hanya menimbulkan konflik yang ujung-unjungnya perselisihan.
Dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah dijelaskan, diharamkan jika berdebat hanya untuk mencari kebenaran, ketenaran, menghina, membuat orang lain menjadi korban atau bahkan harga dirinya terusik. Tidak jarang pula, perdebatan biasanya muncul dari sebuah komentar sinis dan kritikan. Apabila tidak menggunakan cara-cara yang santun, komentar dan kritikan akan mengundang perhatian yang cukup keras. Tanpa disadari, dua hal tersebut juga dapat menyebabkan orang lain merasa tidak bermanfaat. Oleh karena itu, di beberapa situasi, komentar dan kritikan dapat berpengaruh negatif. Jika ada yang suka berkomentar dan mengkritik orang lain berarti ia sedang mengundang orang tersebut untuk mengkritiknya. Disaat situasi sudah memanas, tidak bisa dihindarkan untuk saling debat. Maka dari itu, hindarilah debat yang tidak perlu, yang hanya menimbulkan konflik. Karena dampak debat mengandung mudharat yang sangat besar. Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk meninggalkannya. Dijelaskan dalam kitab Shahih at-Targib wat Tarhib, jilid 1, no. 138
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ وَهَارُونُ بْنُ إِسْحَقَ قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ وَرْدَانَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَهُوَ بَاطِلٌ بُنِيَ لَهُ قَصْرٌ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ وَمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بُنِيَ لَهُ فِي وَسَطِهَا وَمَنْ حَسَّنَ خُلُقَةُ بُنِيَ لَهُ فِي أَعْلَاهَا وَهَذَا الْحَدِيثُ حَدِيثٌ حَسَنٌ
(QS Al Hujurat ayat 12)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain”
Dan menurut Prof. Baharudin, dosen pengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan Islam, UIN Malang, pernah menyampaikan pada saat saya semester 4, bahwa “Orang yang suka berdebat sering kali mereka mencari validasi dari orang lain. Mereka ingin diakui dan dihargai atas pengetahuan atau pandangan mereka, yang bisa memberikan rasa kepuasan pribadi”
Pencari validasi sosial dapat didorong oleh rasa harga diri yang rendah atau kecenderungan individu atas pendapat sendiri. Mereka selalu ingin menjadi sorotan, terkenal atau menjadi pusat perhatian, dan terkadang mereka tidak keberatan menggunakan cara manipulatif untuk mendapatkan validasi sosial yang mereka inginkan.
Mengutip pepatah lama. “Gerobak kosong berderak keras” katanya. Artinya, “Orang yang kekurangan substansi membanggakan diri paling keras.”
Stop mencari kesalahan, kelemahan orang lain hanya untuk validasi sosial. Anda memiliki harta yang jauh lebih besar daripada apa pun yang dapat ditawarkan dunia.
Wallahu A’lam bis Showab!!!