Dia Membuatku Meneteskan Air Mata

Oleh Moch Hafidz Fitratullah

Bingung, bimbang dan cemas campur aduk jadi satu, karena masih tergolong guru baru yang tidak sampai satu bulan mengabdi di Pondok Pesantren Annuqayah. Selama ini hanya fokus mengajar,  mematuhi seluruh peraturan Madrasah, Yayasan dan Pesantren. Banyak pengalaman yang diperoleh, tapi menuangkan dalam tulisan sama seperti kaki di kepala dan kepala di kaki. Dari berbagai pengalaman yang didapat, ada satu yang membuat saya meneteskan air mata. Bagi Beberapa orang, meneteskan air mata adalah hal yang mereka lakukan untuk mengekspresikan rasa sedih, senang, ataupun terharu. Namun terkadang manusia bisa meneteskan air mata tanpa alasan yang pasti. Misalnya ketika menonton film atau melihat bayi yang baru lahir. Apapun alasannya, meneteskan air mata merupakan hasil dari fungsi anatomi yang wajar dan alami.

Kamis 18 September 2019, pukul 06.50. Awal semula saya menginjakkan kaki di Pondok Pesantren Annuqayah, tepatnya di Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Putri. Gugup, grogi bahkan malu setengah mati, karena baru tiga hari menetap di Sumenep dan ini pertama kali mengajar Madrasah Aliyah yang semua siswanya putri, alunan detak jantung sudah dibuat berdebar-debar. Sejauh mata memandang, para siswa Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Putri kompak menundukkan kepala sebagai bentuk menghormati guru yang sedang lewat didepan mereka. Tanpa terasa air mata menetes membasahi pipi. Karena saya berfikir, mereka mungkin hanya takzim kepada dewan Masyayikh, guru senior, tapi kepada guru baru pun juga dilakukan. Di ruang guru, mencoba mengamati interaksi para siswa di halaman, semuanya berperilaku yang tidak pernah saya temukan di pesantren manapun. Di jawa, sebagian santri mengimplementasikan akhlak hanya di pesantren, di lembaga formal seakan-akan melepas atribut kesantriannya. Pesantren merupakan lembaga pendidik, tidak hanya mendidik para santri ilmu agama, melainkan juga membekalinya dengan akhlak yang menjadi karakter khas dari seorang santri. Tidak berlebihan kalau saya mengatakan Annuqayah menerapkan keagungan akhlak yang sangat sempurna.

Selesai mengajar, saya bergegas pulang. Sampai di rumah, satu kalimat yang terucap untuk istri yang saat itu sedang menata buku “Pondok Pesantren mu hebat dan keren”, lantas saya meminta diceritakan budaya akhlak Annuqayah dimana dia enam tahun mengenyam pendidikan di pesantren yang terletak di kecamatan guluk-guluk tersebut. Menurutnya, akhlakul karimah di Annuqayah dibangun horizontal maupun vertikal dalam berbagai aspek dan unsur.

Jadi meneteskan air mata di Annuqayah bukan sebuah ekspresi kesedihan apalagi ujub, karena dihormati oleh para siswa. Bukan itu, melainkan karena pesantren ini tetap kuat menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah ditengah krisis multidimensi yang melanda Indonesia. Imam Nawawi dalam kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalat Al-Qur’an, hakikat pendidikan Islam bertujuan menjadikan manusia mengabdi kepada Allah SWT dengan menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak sehingga mencapai tingkat akhlakul karimah, dan mencapai kebahagiaan didunia dan akhirat. Saya bangga bisa meniru dan menerapkan nilai-nilai akhlak Pondok Pesantren Annuqayah. Semoga tetesan air mata itu menjadi power untuk terus menerapkan akhlakul karimah dimanapun berada. Aamiin

Add your thoughts

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *