Nobsi kolom pekat mengingatkan pada kenangan yang pernah aku pijaki. Malam bertabur syahdu dan rindu. Ingin aku mengingat memoar-memoar lalu yang sempat terhenti terbawa angan dan terbawa mimpi yang tak pasti. Malam berbunga senyap, malam ini selalu datang ketika memoar terbayang dalam pikiran. Malam berlarut saja membuat mata ingin meram dan berbaring di atas ranjang. Tiba-tiba SMS masuk ketika aku meraih handphone dan tertera nomor yang tak kukenal.
“Assalamu’alaikum, salam karar, Penyair.”
Bisikan hati tak pernah pupus di setiap nafas dan kisah cinta setelah tiga tahun kita tak bersua. Andai aku merangkai kata, frasa, dan klausa akan kusisipkan namamu menjadi kalimat dan paragraf yang sempurna, sesempurna bianglala. Aku masih ragu dengan keputusanmu waktu lalu. Tak ada daya, ambigu, semua kurasakan. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, insyaallah kamu tahu tempat itu. Tapi dua hari lagi, ada yang harus kita bicarakan Fai, mengenai rasa dan juga asa.
Setelah membaca pesannya, aku langsung tahu siapa dia. Dia adalah orang yang telah mengisi hari-hariku, juga separuh jiwaku yang hilang. Aku takut menemuinya, sedangkan di satu sisi aku merindukannya. Tiba-tiba tanganku menyentuh layar handphone dan membalas SMS itu.
“Wa’alaikum salam.”
Ada apa kau menghubungiku setelah pergi tanpa kabar? Tentang waktu lalu lupakan saja, tidak usah membahas peristiwa itu. Lagi pula, aku dan tunanganku sudah menyatu, merenggut asa bersama. Dan maaf, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu, karena di antara kita tidak ada hubungan apa-apa.
Dua hari kemudian, aku hanya bisa mengeja kerinduan dengan barisan aksara. Tidak ada kehidupan yang sempurna. Allah membuat skenario kebahagiaan seterang mentari, juga membuat skenario kasedihan sederas hujan untuk membuat episode kahidupan kita berwarna seceria pelangi. Angin bersemilir di atas rindu, lentera malam menemaniku bersantai di jendela kamar meratapi jalan yang jauh dan buram. Tiba-tiba Raza (mantan kekasihku) memanggilku di balik jendela. Aku pun keluar, takut ada orang yang melihat. Dia membawaku ke suatu tempat dan tempat itu penuh sejarah dan air mata.
“Ra, ada perlu apa kau membawaku ke sini? aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi,” sapaku memberanikan diri.
”Sebelumnya aku minta maaf Fai, tentang kabar dan keputusan waktu lalu. Aku terlalu mengedepankan emosi daripada kesabaran. Jujur, akhir-akhir ini aku selalu ingat denganmu, aku masih mencintaimu. Tapi, kamu tidak perlu ragu dengan kalimat yang terlontar dari mulut ini, karena kalimat dan hatiku tidak mungkin berubah. Bagaiman denganmu?” sapanya dengan nada gemetar.
“Ra, setelah kepergianmu tiga tahun lalu tanpa kabar. Hatiku terluka, tapi aku berusaha menerima dengan lapang dada. Tapi, untuk sekarang kita tidak mungkin bersama, karena aku telah menyatu dengan tunanganku. Tidak mungkin aku kembali padamu lagi,” jawabku dengan wajah bermuram durja.
“Aku sedih mendengar kalimatmu, tapi lebih sedih lagi jika kamu tahu tentang kabar tunanganmu. Apakah kamu tidak pernah tahu bahwa ia mempunyai kekasih, apalagi sahabatku sendiri,” jawabnya memperlihatkan sebuah foto padaku.
Aku terkejut dengan apa yang aku lihat, aku masih tidak percaya semua akan seperti ini. Ternyata tunanganku tiba-tiba memukul Raza. Aku tidak tahu bagaimana cara menghentikannya, malam berlarut saja, langit pun tampak buram, angin berbisik pada bulan yang berserakan embun malam. Aku teriak dan akhirnya mereka berhenti.
“Qi, apa yang kamu lakukan, datang-datang langsung menghajar Raza?” kataku dengan suara mengeras.
“Aku ini tunanganmu Fai, wajar bila aku memukulnya. Seharusnya kamu membelaku,” Katanya dengan wajah memerah.
“Sudahlah, hentikan saja permainanmu. Aku sudah tahu semuanya tentangmu dan mulai detik ini jangan anggap aku sebagai tunanganmu, cukup kesekian kau menyakitiku. Satu yang hanya ingin aku minta, datangi kedua orang tuaku dan bilang pada mereka bahwa pertunangan kita ‘pertunangan yang tersiksa’,” kataku sambil memperlihatkan foto yang dikasih oleh Raza.
Suasana menjadi senyap, tak ada yang bersuara, hanya lentera malam yang sigap menerangi di setiap sudut bumi. Fiqi, tunanganku, pergi begitu saja. Tak terasa air mataku menetes dan aku mendekat pada Raza sembari berbisik, “Ra, kamu adalah alasan dari setiap rindu yang tak tersampaikan, aku ingin kita kembali seperti dulu, mengisi ruang dan waktu yang sepi.”
Perempuan memang mudah memaafkan tapi sulit melupakan, karena pada hakikatnya perempuan memiliki perasaan yang dalam.
dapoxetine for sale